Master Ekonomi Syariah Mengucapkan Minal 'Aidin wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Batin Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H.

PENGANGGURAN DAN TENAGA KERJA


http://financeroll.co.id/wp-content/uploads/2012/12/UK-Unemployment.jpg




oleh : Marella Ivahzada Edgina
BAB I
Pendahuluan


Upaya perubahan struktural untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan kesempatan kerja sebagai usaha peningkatan kesejahteraan penduduk seringkali tidak dapat menjangkau seluruh elemen penduduk itu sendiri. Kesempatan dan peluang yang dimiliki tiap penduduk tentu berbeda satu dengan lainnya. Demikian pula dalam proses pembangunan, masalah-masalah seperti kemiskinan dan pengangguran merupakan ekses negatif dari pelaksanaan pembangunan seperti juga terciptanya kesenjangan sosial. Masalah pengangguran umumnya lebih banyak dicirikan oleh daerah perkotaan sebagai efek dari industrialisasi. Pengangguran terjadi sebagai akibat dari tidak sempurnanya pasar tenaga kerja, atau tidak mampunya pasar tenaga kerja dalam menyerap tenaga kerja yang ada. Akibatnya timbul sejumlah pekerja yang tidak diberdayakan dalam kegiatan perekonomian. Ini merupakan akibat tidak langsung dari supply (penawaran) tenaga kerja di pasar tenaga kerja melebihi demand (permintaan) tenaga kerja untuk mengisi kesempatan kerja yang tercipta.

Masalah pengangguran tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya perekonomian dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik.

Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi penyebab utama sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang adalah terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif lebih rendah daripada yang dilakukan di negaranegara maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Lembaga Yang Melakukan Pengukuran Tingkat Pengangguran dan Tenaga Kerja
Pertumbuhan penduduk dimasa mendatang dapat diproyeksikan dengan cara memperhatikan perubahan-perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi. Perubahan dan pola fertilitas dan mortalitas merupakan informasi penting dalam melakukan proyeksi penduduk dimasa mendatang. Proyeksi penduduk senantiasa dilakukan oleh BPS dan Bappenas. Bahkan proyeksi penduduk 2005 – 2025 telah dipublikasikan oleh Bappenas dan BPS dan diharapkan menjadi acuan bagi semua pihak untuk membuat kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kependudukan.

Angka pengangguran yang tinggi dapat menjadi akar terjadinya kemiskinan dan masalah sosial yang lain. Untuk mengendalikan angka pengangguran diperlukan perencanaan tenaga kerja yang baik. Perencanaan tenaga kerja yang dilakukan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memanfaatkan hasil proyeksi yang dipublikasikan oleh Bappenas dan BPS, terutama jumlah penduduk usia kerja (15 tahun keatas). Data penduduk usia kerja sangat penting untuk melakukan proyeksi jumlah angkatan kerja. Dalam konsep ketenagakerjaan, penduduk usia kerja terdiri dari dua kelompok yaitu Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja.

 Angkatan kerja adalah orang yang memiliki kegiatan bekerja dan mencari pekerjaan dalam seminggu terakhir. Sedangkan Bukan Angkatan Kerja adalah orang yang memiliki kegiatan sedang sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya, yaitu sementara mereka tidak bekerja dan tidak juga mencari pekerjaan. Sesuai dengan tugas dan fungsi BPS sebagai penyelenggara kegiatan statistik dasar sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik, BPS berkewajiban untuk menyediakan data statistik dasar yang dalam pemanfaatannya ditujukan untuk kepentingan yang bersifat luas baik bagi pemerintah, swasta maupun masyarakat yang memiliki ciri lintas sektor, berskala nasional, dan bersifat makro.

Dalam menyelenggarakan statistik dasar, BPS memperoleh data melalui sensus, survei, kompilasi produk administrasi, dan cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menyediakan data statistik dasar yang berkesinambungan, maka kegiatan BPS pada umumnya merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya dan selalu disempurnakan sesuai dengan kebutuhan guna mendukung perencanaan pembangunan nasional. Dalam beberapa literatur makro ekonomi angka pengangguran alami diyakini sekitar 5 persen. Angka pengangguran alami menggambarkan suatu keadaan dimana masih ada angkatan kerja yang menganggur saat pasar kerja dalam kondisi keseimbangan yaitu ketika kebutuhan tenaga kerja sama dengan pasokan tenaga kerja pada tingkat upah tertentu.1

Dengan adanya pengukuran dari BPS, serta perencanaan kerja dari Bappenas dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dapat mendukung perencanaan pembangunan secara nasional. Perencanaan pembangunan yang baik akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan suatu negara atau suatu daerah. Ekonomi dilatakan mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang terus menunjukkan peningkatan menggambarkan bahwa perekonomian nagara atau wilayah tersebut berkembang dengan baik2. Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan3.
B.    Perekonomian Formal dan Informal di Indonesia

Pengelompokkan definisi formal dan informal menurut Hendri Saparini dan M. Chatib Basri dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa tenaga Kerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak. Definisi lainnya adalah segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja (job security), tempat bekerja yang tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum.

Sedangkan ciri-ciri kegiatan-kegiatan informal adalah mudah masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini, bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif.


1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2010-2025 Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian. Kementrans RI.
2 Amri Amir. 2007. “Pengaruh inflasi dan pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Indonesia”. Jurnal Inflasi dan Pengangguran Vol. 1 no. 1. Jambi.
3 Tulus T.H. Tambunan. 2009. Perekonomian Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Contoh dari jenis kegiatan sektor informal antara lain pedagang kaki lima (PKL), becak, penata parkir, pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, buruh tani dan lainnya. Kemajuan perekonomian sebuah negara dapat pula ditandai dengan adanya transformasi ke arah penurunan pekerja kasar (blue collar) yang merepresentasikan pekerja sektor informal. Pekerja blue collar dapat dimaknai sebagai pekerja pada pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik, pada kelompok lapangan usaha di Indonesia biasanya dimasukkan kedalam jenis pekerjaan di sektor usaha pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan, tenaga produksi, alat angkut dan pekerja kasar.

Disisi lain, pekerja manajerial (white collar) yang merepresentasikan pekerja sektor formal terdiri dari tenaga professional, teknisi dan sejenisnya, tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, tenaga tata usaha dan sejenisnya, tenaga usaha penjualan, tenaga usaha jasa. Pada beberapa tahun terakhir tercermin adanya kecenderungan penurunan peran pekerja blue collar dan sedikit peningkatan pekerja white collar. Ini merupakan sinyal kemajuan perekonomian dan juga kemajuan pendidikan karena pekerja white collar secara umum membutuhkan tingkat pendidikan yang memadai.

Dalam analisis pembagian pekerja menjadi pekerja sektor formal dan pekerja sektor informal sering terkendala dengan data yang tersedia. Tidak adanya keseragaman secara internasional tentang definisi sektor informal dan ketersediaan data yang ada di Indonesia, pengertian pekerja sektor informal dalam analisis ini didekati dengan status pekerjaan. Pekerja informal adalah mereka yang berusaha sendiri, berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas dan pekerja keluarga/tak dibayar.

Menakertrans mengatakan tenaga-tenaga kerja di sektor informal patut mendapatkan perlindungan jaminan sosial. Hal ini sangat terasa dibutuhkan pada saat mereka menderita sakit, kecelakaan, memasuki usia tua bahkan saat dijemput sang maut. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah kepesertaan Jaminan Sosial bagi tenaga kerja informal di Indonesia, Menakertrans akan mendorong PT Jamsostek untuk terus-menerus mensosialisasikan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 24 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Di Luar Hubungan Kerja. Jaminan Sosial bagi tenaga kerja di sektor-sektor informal itu meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.4

4 http://www.depnakertrans.go.id/news.html,183,umum, diakses pada hari minggu tgl 25 nopember 2012 pukul 20:34 wib
Tabel 1 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama
Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama
2010–2012 (juta orang)           
                           
Status Pekerjaan Utama    2010        2011 *)    2012
            Februari    Agustus    Februari    Agustus    Februari
                           
1. Berusaha sendiri        20,46    21,03    21,15    19,41    19,54
2. Berusaha dibantu buruh tidak tetap    21,92    21,68    21,31    19,66    20,37
3. Berusaha dibantu buruh tetap    3,02    3,26    3,59    3,72    3,93
4. Buruh/Karyawan        30,72    32,52    34,51    37,77    38,13
5. Pekerja bebas di pertanian    6,32    5,82    5,58    5,48    5,36
6. Pekerja bebas di nonpertanian    5,28    5,13    5,16    5,64    5,97
7. Pekerja keluarga/tak dibayar    19,68    18,77    19,98    17,99    19,5
Jumlah    107,41    108,21    111,28    109,67    112,8

Secara sederhana kegiatan formal dan informal dari penduduk yang bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama, pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan, sisanya termasuk pekerja informal. Berdasarkan identifikasi ini, maka pada Februari 2012 sekitar 42,1 juta orang (37,29 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 70,7 juta orang (62,71 persen) bekerja pada kegiatan informal.

Dalam setahun terakhir (Februari 2011―Februari 2012), pekerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap bertambah 340 ribu orang dan pekerja berstatus buruh/karyawan bertambah sebesar 3,6 juta orang. Peningkatan ini menyebabkan jumlah pekerja formal bertambah sebesar 4,0 juta orang dan persentase pekerja formal naik dari 34,24 persen pada Februari 2011 menjadi 37,29 persen pada Februari 2012.

Komponen pekerja informal terdiri dari pekerja dengan status berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian dan pekerja keluarga/tak dibayar. Dalam setahun terakhir (Februari 2011―Februari 2012), pekerja informal berkurang sebesar 2,4 juta orang dan persentase pekerja informal berkurang dari 65,76 persen pada Februari 2011 menjadi 62,71 persen pada Februari 2012. Penurunan ini berasal dari hampir seluruh komponen pekerja informal, kecuali pekerja bebas nonpertanian.4

Pasar kerja Indonesia yang masih dualistik yaitu disatu sisi ada pekerjaan formal yang berjumlah 30 persen dengan sisi lain ada pekerjaan informal yang berjumlah 70 persen serta masih banyaknya angkatan kerja yang berkualitas rendah, telah mengakibatkan dunia ketenagakerjaan dihadapkan pada masalah dan tantangan. Masalah dan tantangan tersebut menyangkut. Terbatasnya Kesempatan untuk Memperoleh Pekerjaan yang baik (decent work). Kondisi pasar kerja dicerminkan oleh angka penganggur usia muda dan TPT untuk lulusan pendidikan SMA ke atas masih tinggi.


5 Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 25 Juni 2012 Badan Pusat Statistik
Di sisi lain, kegiatan ekonomi informal dengan pekerja yang juga informal masih besar yaitu 69,1 persen tahun 2009. Para penganggur ini membutuhkan pekerjaan yang baik (decent work), lapangan kerja produktif, hak-hak pekerja terlindungi, adanya perlindungan sosial yang memadai yang umumnya pada kegiatan ekonomi formal. Kegiatan ekonomi formal yang biasanya ditandai dengan upah rata-rata lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan upah yang diperoleh pekerja informal, masih belum dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.

Pekerja formal memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan yang dapat menempatkan mereka pada posisi lebih baik untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, kebanyakan pekerja informal (walaupun tidak semuanya) melakukan kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah serta tidak menentu. Keterbatasan lapangan kerja formal, menyebabkan pekerja merasa kurang mempunyai jaminan kerja untuk jangka menengah. Prospek (peluang) yang mereka miliki untuk mendapatkan penghasilan yang memadai juga berkurang.

Hal ini menjadi tantangan yang besar karena jumlah pencari kerja baru yang memasuki pasar tenaga kerja dalam kurun waktu lima tahun mendatang diperkirakan akan terus meningkat. Kondisi ini menyiratkan bahwa pembangunan ekonomi difokuskan pada kualitas pertumbuhan ekonomi yang mempunyai basis yang luas meliputi semua lapisan masyarakat. Kebanyakan angkatan kerja memasuki sektor informal perkotaan yang sebagian besar berupa usaha kecil-kecilan dan berpendapatan rendah. Sektor informal tidak mudah dipahami bila hanya mengandalkan pada konsep dualistis.

Pasar kerja informal di kota negara-negara  berkembang bersifat heterogen, terpisah-pisah dan cenderung tidak ada kaitan satu sama lain serta tidak dualistis. Sektor informal lebih mudah dipahami dengan memakai konsep pasar kerja terpecah-pecah (fragmented labour market) (Breman, 1985). Konsep itu menjelaskan bahwa peluang kerja di sektor informal acapkali dikuasai oleh kelompok sosial tertentu karena pembagian kerja atau rekrutmen bersifat partikularistik yang didasarkan pada ikatan-ikatan sosial (jaringan sosial) antar kelompok sosial (etnis) tertentu.

Pasar kerja informal berkembang atas dasar jaringan sosial para pekerja marginal yang terpinggirkan dari pasar kerja formal. Di negara-negara berkembang, pengangguran terbuka meningkat sebagian sebagai akibat dari keengganan angkatan kerja melakukan pekerjaan di sektor informal. Ada pandangan bahwa status dan pendapatan bekerja di sektor informal adalah rendah.keluarga dari golongan menengah-atas rela memberi bantuan biaya hidup pada anggota keluarganya selama mereka belum mendapatkan pekerjaan sesuai dengan aspirasi dan harapan daripada bekerja di sektor informal.

Sistem sosial ini sebagai salah satu penyebab tingginya angka pengangguran terbuka bagi angkatan kerja pendidikan menengah usia muda dari kelompok golongan menengah atas. Bagi angkatan kerja yang berpendidikan rendah, kebanyakan berasal dari golongan keluarga kurang mampu, jauh lebih baik memasuki sektor informal sebagai upaya untuk mengurangi beban keluarga dan untuk menghindar dari jeratan kemiskinan. Keberadaan pasar informal ini menyebabkan angka pengangguran terbuka golongan menengah bawah sering dilaporkan lebih rendah meskipun pekerjaan cenderung kurang produktif.

Secara statistik aktivitas pada ekonomi informal lebih sulit untuk di hitung karena mudahnya setiap orang untuk keluar masuk ke dalam kegiatan tersebut. Berbeda dengan aktivitas pada ekonomi formal yang lebih banyak persyaratan untuk dapat masuk ke dalam aktivitas tersebut.

C.    Pengangguran Terselubung atau Setengah Menganggur (underemployed) di Indonesia
Setengah menganggur (underemployed), yaitu mereka yang bekerja tetapi belum dimafaatkan secara penuh. Artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari 35 jam. Berdasarkan definisi ini tingkat pengangguran di Indonesia relative tinggi, karena angkanya berkisar 35% per tahun. Pengangguran terselubung adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.6

Fakta menunjukkan bahwa di daerah perkotaan ada sebagain orang yang secara sukarela menganggur karena sedang menunggu untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian/pendidikan mereka, dan mereka belum tentu miskin karena mungkin mereka bagian dari rumahtangga kelompok pendapatan menengah ke atas. Penjelasan lain adalah bahwa rumahtangga miskin hampir tidak mungkin menjadi penganggur. (Oshima 1990) Pernyataan Oshima tersebut dapat dipahami mengingat di negara berkembang seperti Indonesia tidak terdapat jaminan sosial bagi penganggur, sehingga orang miskin untuk bertahan hidup mau tidak mau harus bekerja meskipun hanya beberapa jam seminggu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Todaro (1977) yang menyebutkan bahwa mereka yang berada dalam keadaan miskin adalah mereka yang tidak bekerja secara teratur atau terus menerus, atau yang bekerja paruh waktu saja.

Frances and Streeten (1981) lebih tegas lagi menyatakan bahwa pengangguran bukanlah ukuran yang memuaskan bagi kemiskinan, karena umumnya orang yang menganggur keadaannya lebih baik, sementara umumnya orang yang benar-benar miskin justru tidak menganggur. Merujuk pada pernyataan Todaro di atas, tampaknya setengah pengangguran (yang diukur berdasarkan jam kerja) memiliki hubungan yang posistif dengan kemiskinan. Tingkat setengah pengangguran yang tinggi mengindikasikan tingkat kemiskinan yang tinggi pula.

6 Prathama Rahardja. Pengantar Ilmu Ekonomi.2004. Jakarta:Universitas Indonesia

Tabel Penduduk 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan
Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan, 2010–2012
(juta orang)
               
    2010        2011 *)    2012
Jenis Kegiatan    Februari      Agustus    Februari       Agustus    Februari
                   
                   
1. Angkatan Kerja    116    116,53    119,4    117,37    120,41
Bekerja    107,41    108,21    111,28    109,67    112,8
Penganggur    8,59    8,32    8,12    7,7    7,61
2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%)    67,83    67,72    69,96    68,34    69,66
3. Tingkat Pengangguran Terbuka (%)    7,41    7,14    6,8    6,56    6,32
4. Pekerja tidak penuh    32,8    33,27    34,19    34,59    35,55
Setengah penganggur    15,27    15,26    15,73    13,52    14,87
Paruh waktu    17,53    18,01    18,46    21,06    20,68
                   
*) Sejak tahun 2011 menggunakan penimbang penduduk berdasarkan hasil SP2010 (final)

Dari tabel diatas dapat diketahui keadaan ketenagakerjaan di Indonesia pada Februari 2012 menunjukkan adanya perbaikan yang digambarkan adanya peningkatan jumlah angkatan kerja maupun jumlah penduduk bekerja dan penurunan tingkat pengangguran. Jumlah angkatan kerja pada Februari 2012 bertambah sebesar 3,0 juta orang dibanding keadaan Agustus 2011 dan bertambah 1,0 juta orang dibanding keadan Februari 2011.

Penduduk yang bekerja pada Februari 2012 bertambah sebesar 3,1 juta orang dibanding keadaan Agustus 2011, dan bertambah 1,5 juta orang dibanding keadaan setahun yang lalu (Februari 2011). Sementara jumlah penganggur pada Februari 2012 mengalami penurunan sekitar 90 ribu orang jika dibanding keadaan Agustus 2011, dan mengalami penurunan sebesar 510 ribu orang jikadibanding keadaan Februari 2011. Meskipun jumlah angkatan kerja bertambah, tetapi dalam satu tahun terakhir terjadi penurunan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 0,30 persen poin.7

D.    Partisipasi Angkatan Tenaga Kerja Perempuan dan Pekerja Lansia

Perempuan kurang terwakili dalam angkatan kerja, masih banyak dari mereka yang menganggur atau setengah menganggur, yang pekerja tak dibayar, kelompok pencari kerja dan yang tidak aktif terlibat dalam pasar kerja. Alasan tidak bekerjanya perempuan adalah karena harus mengurus keluarga, sulit masuk sektor formal, ekspektasi budaya terkait pekerjaan yang tepat bagi perempuan dan adanya diskriminasi dalam praktek kerja. Perempuan yang mengikuti pelatihan kejuruan, kondisinya dalam pasar kerja lebih baik dibanding laki-laki karena pelatihan sesuai dengan kebutuhan sektor jasa yang terus berkembang.

7 Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 25 Juni 2012. Badan Pusat Statistik.
Angka pengangguran terbuka angkatan kerja perempuan berpendidikan SLTP dan SLTA mengalami peningkatan cukup berarti bila dibandingkan dengan kaum laki-laki. Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) itu menunjukkan bahwa angka pengangguran terbuka perempuan berpendidikan SLTP dan SLTA sejak tahun 1996, setahun sebelum krisis, masing-masing telah mencapai angka 10,3 persen dan 19 persen. Setahun setelah krisis, tahun 1998, kecuali tahun 2000, angka itu terus meningkat mencapai angka sekitar 17,7 persen dan 25 persen di tahun 2003.

Data ini mengindikasikan bahwa peningkatan angka pengangguran terbuka kaum perempuan terdidik tidak hanya semata-mata disebabkan oleh krisis ekonomi. Kenaikan ini mungkin ada kaitan dengan peningkatan pendidikan kaum perempuan. Selama tiga puluh tahun terakhir perluasan fasilitas dan pelayanan pendidikan telah membuka peluang peningkatan pendidikan kaum perempuan. Angka melek huruf kaum perempuan pada tahun 1960 sekitar 69 persen dan menurun menjadi 17 persen pada tahun 1990 (BPS, Bappenas, dan UNDP, 2001).
Peningkatan pendidikan ini diikuti dengan perubahan sosial, yakni meningkatnya keinginan meninggalkan pekerjaan di sektor domestik, biasanya tidak diupah, dan berusaha memasuki pekerjaan di sektor publik, untuk mendapatkan upah. Keinginan memasuki pasar kerja tidak hanya sebagai upaya untuk mengembangkan karir tetapi juga sebagai upaya membantu menambah penghasilan keluarga, terutama bagi keluarga miskin. Kelangkaan peluang kerja di dalam negeri menyebabkan angka pengangguran terbuka angkatan kerja kaum perempuan meningkat. Tekanan pengangguran terbuka ini disertai dorongan keinginan bekerja dan diwarnai iming-iming upah yang menjanjikan di luar negeri menyebabkan banyak angkatan kerja perempuan muda usia menoleh peluang kerja di mancanegara, meskipun peluang kerja yang tersedia hanya sebagai pekerja rumah tangga (PRT) atau buruh. Keinginan ini cenderung meningkat selama krisis ekonomi berlangsung.

Selama tujuh tahun terakhir, rata- rata pertumbuhan tahunan perempuan yang memasuki pasar kerja jauh lebih tinggi dibanding laki-laki, sebagian dikarenakan adanya perluasan kesempatan kerja di sektor jasa dan adanya kemajuan pendidikan perempuan. Tetapi di sektor formal, partisipasi perempuan masih lebih rendah, tingkat pengangguran lebih tinggi, kualitas kerja lebih buruk, upah lebih rendah, akses terhadap sumberdaya seperti tanah dan kredit masih rendah dan perempuan menghadapi perlakuan diskriminatif dalam sistem pengupahan dan kenaikan pangkat. Perempuan yang terlibat dalam ekonomi informal lebih banyak jumlahnya.

Umumnya mereka memiliki usaha sendiri, menjadi pekerja tak dibayar pada usaha keluarga, dan menjadi pekerja migran di luar negeri, yang membuat diri mereka menjadi rentan secara fisik dan finansial, terhadap upaya perdagangan orang dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Untuk mengurangi kesenjangan yang ada perlu memberikan perhatian pada pentingnya persamaan peluang kerja, terutama di sektor formal, perlu adanya kesesuaian antara pelatihan dan ketrampilan perempuan dengan kebutuhan pasar, dengan memperluas pasar tenaga kerja dan menciptakan kegiatan yang menghasilkan uang, dengan mengatasi penyebab terjadinya segmentasi pasar tenaga kerja, yang membedakan sistem pengupahan dan membatasi berkembangnya karir perempuan.


Nampaknya sebagian besar masyarakat Indonesia sepakat bahwa peranan wanita atau perempuan tidak bisa dipisahkan dengan peran dan kedudukan mereka dalam keluarga. Mengingat di masa lalu, wanita lebih banyak terkungkung dalam peran sebagai pendamping suami dan pengasuh anak. Namun seiring dengan kemajuan ekonomi dan meningkatnya pendidikan wanita maka banyak ibu rumah tangga dewasa ini yang tidak hanya berfungsi sebagai manajer rumah tangga, tetapi juga ikut berkarya di luar rumah. Kecenderungan untuk bekerja di luar rumah jelas akan membawa konsekuensi sekaligus berbagai implikasi sosial, antara lain meningkatnya kanakalan remaja akibat kurangnya perhatian orang tua, makin longgarnya nilai-nilai ikatan perkawinan/keluarga dan lain-lain.

Hal-hal ini lebih sering diasosiasikan sebagai akibat dari semakin banyaknya ibu rumah tangga bekerja di luar rumah, terutama di perkotaan. Permasalahan akan menjadi makin rumit, bila ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah dalam jangka waktu yang relatif lama (baik di kota lain atau di luar negeri). Dengan kata lain ibu rumah tangga harus tinggal di kota lain dan berpisah dengan keluarganya dalam kurun waktu lama. Yang berarti itensitas pertemuan dengan keluarga menjadi jauh berkurang dan secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keharmonisan dalam keluarga. Dalam sistem sosial budaya di Indonesia, peran dan tanggung jawab bagi kelancaran dan keselamatan rumah tangga ada di tangan wanita, sedangkan peran ayah atau bapak lebih dikaitkan sebagai penghasil dan penyangga pendapatan rumah tangga. Pada kenyataannya, peran ibu rumah tangga tidaklah kecil dalam mendukung perekonomiannya.

Dilihat dari segi sosial, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, terutama untuk kaum wanitanya, sangat sering mendapatkan kritik akibat banyaknya kasus yang muncul. Akhir-akhir ini terjadi kecenderungan feminisasi pekerja migran. Mereka bekerja di sektor-sektor yang dikategorikan sebagai “pekerjaan khas perempuan”, seperti pembantu rumah tangga, pengasuh anak, dan sebagainya. Seringkali mereka menghadapi masalah karena keberadaannya sebagai perempuan, seperti pelecehan seksual, perkawinan semu, bahkan sampai kematian yang tidak jelas sebabnya. Kompleksitas dampak sosial dari migrasi pekerja wanita ke luar negeri juga semakin besar dengan hadirnya permasalahan lain seperti retaknya mahligai rumah tangga, penyelewengan suami dan lain-lain. Berbagai permasalahan yang dialami perempuan pekerja migran di negara lain lebih banyak diekspose media massa, labih sering dari pada perempuan pekerja migran yang bekerja di dalam negeri. Namun bukan tidak mungkin bahwa persoalan serupa dialami pula perempuan pekerja migran di kota-kota besar di Indonesia.

Dari sudut pandang sosial, penduduk lansia merupakan suatu kelompok sosial tersendiri. Di negara Barat misalnya, penduduk lansia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini ditandai oleh keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh dalam pengambilan keputusan, serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun di usia tua. Namun di masyarakat tradisional di Asia pada umumnya, termasuk Indonesia, penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi, yang harus dihormati oleh masyarakat yang usianya lebih muda.

Dari beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam mendefinisikan penduduk lanjut usia, pendekatan usia adalah yang paling memungkinkan untuk digunakan. Batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber data kependudukan. Definisi penduduk lansia (lanjut usia) berbeda-beda tergantung pada yang mendefinisikan. Para demografer mendefinisikan penduduk lansia dengan batasan umur 65 tahun. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menggunakan batasan umur 60 tahun. Di Indonesia biasa digunakan batasan umur 60 tahun untuk mendefinisikan warga tua (kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, 1998). Sesuai dengan batasan umur penduduk lansia yang digunakan di Indonesia, tulisan ini menggunakan batasan umur 60 tahun untuk mendefinisikan penduduk lansia. Sedangkan batasan umur 65 tahun ke atas digunakan untuk memudahkan dalam membandingkan isu penduduk lansia di Indonesia dari sudut pandang internasional.

Sri Mulyani (1995), mengungkapkan bahwa bila leisure diasumsikan merupakan komoditas normal, peningkatan/penurunan pendapatan leisure ini akan menaikkan atau menurunkan permintaan terhadap leisure, yang berarti peningkatan / penurunan penyediaan waktu untuk bekerja. Ketika ekonomi keluarga memburuk, leisure menjadi relatif tidak terjangkau. Dengan kata lain, dari sisi mekanisme ini keluarga miskin tidak mampu untuk menikmati leisure. Selanjutnya perkembangan teoritis penawaran tenaga kerja memasukkan faktor dinamis, artinya dengan mempertimbangkan dimensi waktu, tenaga kerja memiliki tingkah laku dan kendala yang berbedabeda sesuai dengan perkembangan usia mereka.

Berdasarkan hal tersebut di atas, para lansia yang tidak mampu menikmati leisure ini, menjadi amat tragis mengingat pada saat keinginan leisure itu muncul maka akan tertutup oleh tingginya kebutuhan kehidupan yang layak. Di lain pihak tingkah laku dan kendala (faktor dinamis) yang dihadapi para lansia pada usia yang mestinya sudah pensiun menjadi pelengkap polemik para lansia ini. Masalah ini nampak dengan semakin berkurangnya tenaga dan pikiran, yang disebabkan menurunnya kemampuan fisik para lansia. Pengaruh faktor psikologis sering marah, stress, egois dan daya ingat yang terus berkurang menjadi faktor penentu kurang diterimanya di pasar kerja. Selain itu, faktor keluarga juga amat menentukan di dalam perjalanan hidup para lansia di mana selama ini diyakini bahwa dukungan penduduk lanjut usia merupakan tanggung jawab keluarga, terutama anak, sesuai dengan nilai yang di anut oleh kebanyakan masyarakat bahwa menjaga orang tua yang masih berusia lanjut merupakan kewajiban anak sebagai keturunannya.

Disamping itu, banyak orang tua yang beranggapan bahwa anak merupakan tempat bergantung jika mereka sudah tua dan tidak sanggup hidup sendiri, baik karena alasan ekonomi maupun alasan kesehatan. Umpamanya, di bidang ekonomi, anggapan ini didukung oleh kenyataan kecilnya persentase penduduk lansia yang menerima pensiun yaitu 13 persen laki-laki dan 4 persen perempuan pada tahun 1989 (Chen dan Jones, 1989), yang menyebabkan tidak mampu mendukung kehidupan mereka secara ekonomi. Nilai-nilai penghargaan terhadap orang tua tersebut tidak akan dapat bertahan, mengingat perubahan nilai-nilai kehidupan di atas akan berubah seiring dengan perubahan jaman. Hal ini dibuktikan dengan mulai banyak kasus orang tua yang terlantar, mulai dari gelandangan sampai dengan menumpuknya orang tua di panti jompo.

 Jika melihat kondisi lansia sekarang, sebenarnya lansia sudah tidak perlu bekerja untuk mencari nafkah apalagi sebagai tulang punggung keluarga. Meskipun masih bekerja, pekerjaan mereka harus terbatas pada pekerjaan untuk mengamalkan ilmu pengetahuan atau ketrampilan yang masih mereka miliki untuk diturunkan kepada generasi yang lebih muda. Namun kenyataannya masih banyak lansia yangs bekerja untuk mencari nafkah, bahkan sebagai tulang punggung keluarga. Mereka yang bekerja tersebut lebih banyak dari golongan berpendidikan rendah, pengeluaran rumah tangga rendah, sektor informal, dan tinggal di daerah pedesaan. Umumnya mereka masih terpaksa bekerja untuk mencari nafkah, mengingat kondisi ekonominya belum memenuhi kebutuhannya.8

Jadi budaya, latar belakang sejarah, lembaga dan perundang-unadngan sangat mempengaruhi partisipasi angkatan kerja perempuan dan lansia Pemerintah sebaiknya dapat lebih memberikan perlindungan untuk pekerja-pekerja wanita dan lansia.

8 Affandi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk lanjut usia memilih untuk bekerja
E.    Jaringan keselamatan di Indonesia

Perkiraan pengangguran terbuka akan meningkat tajam selama krisis berlangsung kebanyakan didasarkan pada pendekatan rekayasa (engineering approach) dan mengabaikan pendekatan tradisi yang terkait dengan etika. Selain itu, pendekatan rekayasa kurang mempertimbangkan daya kerja mekanisme sosial dan melupakan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Mekanisme sosial dan kemampuan beradaptasi itu turut mewarnai dinamika pasar kerja di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Melalui sistem sosial dan institusi sosial tradisional, mekanisme sosial, dan daya adaptasi bekerja yang memungkinkan pasar kerja bersifat lentur (flexible). Kelenturan pasar kerja, baik informal maupun pertanian tradisional, dapat membantu serta mempermudah proses penyesuaian ketika terjadi perubahan dalam tatanan ekonomi. Bagi para pekerja yang dirumahkan dan mendapat uang pesangon segera bisa digunakan sebagai modal untuk membuka usaha sendiri.

Mereka yang tidak mampu membuka usaha sendiri dapat membantu usaha keluarga atau menjadi pekerja keluarga tanpa diupah. Kelenturan pasar kerja ini menyebabkan banyak pekerja yang sebelum krisis bekerja di sektor formal sekarang berusaha di sektor informal. Proses informalisasi pasar kerja, yakni beralihnya pekerja formal menjadi pekerja informal ini dapat menekan ledakan pengangguran terbuka. Penjelasan ini didukung data bahwa proporsi pekerja sektor informal yang tercatat sebagai pekerja usaha sendiri, pekerja keluarga tidak diupah dan membantu usaha keluarga mengalami peningkatan dari sekitar 64,6 persen pada tahun 1997 (mulai krisis) dan menjadi sekitar 68,3 persen pada tahun 1998.

Penjelasan lain mengapa pengangguran terbuka tidak meningkat tajam dapat dilacak dari keberadaan tradisi sosial, terutama jaringan sosial tradisional dalam masyarakat. Dukungan modal sosial tradisional (jaringan sosial kekeluargaan) yang berkembang dalam masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai penjamin dalam mendapatkan peluang kerja tetapi berfungsi juga sebagai strategi dalam membangun jaringan dan informasi peluang usaha. Jaringan sosial informal ini terjalin dikalangan para pekerja di perkotaan dengan para pekerja di perdesaan. Jaringan sosial berkembang melalui interaksi sosial pekerja perkotaan dengan daerah asalnya.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa kebijakan di bawah program Jaring Keselamatan Sosial atau Social Safety Net (SSN). Seperti yang disebutkan dalam pidato presiden di depan DPR (DPR) pada tanggal 15 Agustus 1998, program-program Jaring Pengaman Sosial yang bertujuan untuk mengintegrasikan program-program pembangunan khusus untuk mengatasi dampak krisis, termasuk yang berkaitan dengan perbedaan , kemiskinan, dan keterbelakangan. Program SSN yang merupakan hasil dari negosiasi pada awal 1998 antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia, yang mewakili negara-negara donor. Program ini telah diidentifikasi sebagai upaya untuk memastikan proses pembangunan jangka panjang di negara-negara donor yang akan terlibat selama bertahun-tahun dalam bentuk investasi dan kredit.

Dengan pinjaman dari Bank Dunia, IMF, the Japan Bank for International Co-operation (JBIC), Bank Pembangunan Asia (ADB), PBB, USAID dan AusAid, program SSN dimulai pada tahun fiskal 1998/99. Program-program ini telah dilaksanakan sampai tahap ketiga yang berakhir pada tahun anggaran 2000, untuk berurusan dengan dampak terburuk krisis ekonomi. Untuk mengurangi kemiskinan di pertengahan untuk jangka panjang,

Tahun lalu, pemerintah kedatangan Organisasi Untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang pada intinya menyarankan agar Indonesia membuat asuransi pengangguran. Alasannya sederhana, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi agar dapat dinikmati secara merata (inklusif). Ketika itu Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria, merekomendasikan agar asuransi pengangguran sebagai salah satu program jaminan/proteksi sosial di Indonesia. Sekalipun rekomendasi OECD tersebut kini belum dipraktekkan Pemerintah, tapi perlu ditelusuri latar belakang atau untung rugi diterapkannya asuransi pengangguran.

UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tidak mengadop jaminan atau asuransi pengangguran dengan berbagai alasan dari berbagai kalangan. Hal ini dapat dimengerti penerapan asuransi pengangguran memerlukan dana besar dan penyesuaian terhadap perilaku masyarakat setempat. Tidak tersedianya dana Pemerintah untuk menghidupi pengangguran suatu “harga mati.” Tapi, bukan berarti Pemerintah tidak perlu menyelenggarakan program asuransi pengangguran.

Asuransi pengangguran di banyak Negara dibiayai oleh pekerja dan majikan/pengusaha. Oleh sebab itu, biasanya yang ter-cover asuransi pengangguran adalah pekerja sektor formal. Namun sampai saat ini pemerintah Indonesia belum mempunyai sistem jaringan keselamatan untuk para penganggur.

Jadi rendahnya tingat pengangguran di Indonesia bukan disebabkan oleh adanya jaringan keselamatan yang diberikan oleh pemerintah untuk warganya yang menganggur, tetapi hal ini disebabkan karena banyaknya masyarakat yang lebih memilih untuk bekerja apa saja diluar latar belakang pendidikan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

F.    Pekerja Tanpa Kontrak

Para pekerja tanpa kontrak dan pekerja bisnis keluarga tanpa bayaran termasuk ke dalam kelompok pekerja informal. Jumlah mereka memang cukup banyak di Indonesia, mereka orang-orang yang rela untuk menerima pekerjaan ini dikarenakan kebutuhan ekonomi yang sudah sangat mendesak. Mereka biasanya orang-orang yang kurang memiliki keahlian khusus dan kurang berpendidikan. Mereka tinggal bersama keluarga yang dapat memberi kebutuhan sandang, pangan dan papan dengan konsekuensi harus bekerja tanpa di bayar.

Untuk perlindungan tenaga kerja pemerintah melalui DPR telah mensahkan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengenai Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Amanat UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2014. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang ketenagakerjaan akan melindungi pekerja informal di Indonesia setelah resmi berjalan pada 2014. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan transformasi dari PT Jamsostek.

Dengan diberlakukannya UU BPJS tersebut pada 1 Januari 2014, semua pelayanan kesehatan dasar bagi rakyat Indonesia, akan dibiayai negara. Tidak ada kecuali, baik kaya maupun miskin. Bukan hanya itu, dalam SJSN pun layanan yang diberikan tidak terbatas pada jenis penyakit tertentu tapi semua penyakit akan dicover. Bahkan termasuk cuci darah yang biayanya relatif cukup mahal. Sehingga SJSN lebih dinilai tidak membeda-bedakan strata ekonomi seseorang.

UU BPJS merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat sehat. Untuk mewujudkannya diperlukan persiapan yang matang seperti infrastruktur dan Sumber Daya Manusianya (SDM). Untuk mendukung terlaksananya UU BPJS  perlu disiapkan infrastruktur penunjang terutama di daerah pedalaman. Sehingga akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bisa lebih mudah.9

Dengan adanya rencana pemberian jaminan sosial kepada masyarakat, diharapkan para pekerja informal dapat lebih terjamin tingkat kesejahteraannya.


9 http://edukasi.kompasiana.com/. diakses pada hari minggu tanggal 25 Nopember 2012 pukul 20:34 wib

G.    Dampak Pengangguran dan Cara Penanggulangannya

1.    Dampak Pengangguran

Permasalahan pengangguran akan membawa dampak yang buruk bagi kestabilan perekonomian Negara. Dan dampak-dampak negatif lainnya diantaranya:

-    Timbulnya kemiskinan. Dengan menganggur, tentunya seseorang tidak akan bisa memperoleh penghasilan. Bagaimana mungkin ia bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Seseorang dikatakan miskin apabila pendapatan perharinya dibawah Rp 7.500 perharinya (berdasarkan standar Indonesia) sementar berdasarkan standar kemiskinan PBB yaitu pendapatan perharinya di bawah $2 (sekitar Rp 17.400 apabila $1=Rp 8.700).
-    Makin beragamnya tindak pidana kriminal. Seseorang pasti dituntut untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hidupnya terutama makan untuk tetap bisa bertahan hidup. Namun seorang pengangguran dalam keadaan terdesak bisa saja melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, mencopet, jambret atau bahkan sampai membunuh demi mendapat sesuap nasi.
-    Bertambahnya jumlah anak jalanan, pengemis, pengamen perdagangan anak dan sebagainya. Selain maraknya tindak pidana kriminal, akan bertambah pula para pengamen atau pengemis yang kadang kelakuannya mulai meresahkan warga. Karena mereka tak segan-segan mengancam para korban atau bisa melukai apabila tidak diberi uang.
-    Terjadinya kekacauan sosial dan politik seperti terjadinya demonstrasi dan perebutan kekuasaan.
-    Terganggunya kondisi psikis seseorang. Misalnya, terjadi pembunuhan akibat masalah ekonomi, terjadi pencurian dan perampokan akibat masalah ekonomi, rendahnya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat, kasus anak-anak terkena busung lapar.
-    Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran bisa menyebabkan pendapatan nasional rill yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial oleh karena itu, kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah.
-    Pengangguran akan menyebabkan pendapatan nasional dari sektor pajak berkurang. Hal ini terjadi karena pengangguran yang tinggi akan menyebabkan kegiatan perekonomian menurun sehingga pendapatan masyarakat pun akan menurun. Dengan demikian pajak yang harus diterima dari masyarakat pun akan menurun.Jika penerimaan pajak menurun, dana untuk kegiatan ekonomi pemerintahan pun akan berkutang sehingga kegiatan pembangunan pun akan terus menurun.
-    Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Adanya pengangguran akan menyebabkan daya beli masyarakat akan berkurang sehingga permintaan terhadap barang-barang produksi akan berkurang. Keadaan demikian tidak merangsang kalangan Investor (pengusaha) untuk melakukan perluasan atau pendirian industri baru. Dengan demikian tingkat investasi menurun sehingga pertumbuhan ekonomi pun tidak akan terpacu.

2.    Cara Menghambat Pengangguran

Pengangguran dapat dihambat pertumbuhannya dengan melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:

-    Memperluas dan membuka lapangan pekerjaan. Salah satunya bisa diwujudkan dengan memberdayakan sektor informal padat karya, home industry/ekonomi kreatif.
-    Menciptakan pengusaha-pengusaha baru. Diharapkan dengan demikian para lulusan sekolah ataupun perguruan tinggi tidak hanya memiliki tujuan sebagai pegawai saja, namun lebih baik apabila mereka membuat usaha-usaha yang dapat menyerap tenaga kerja sehingga dengan demikian membantu pemerintah dalam mengatasi jumlah pengangguran yang semakin banyak. Dan bisa kita lihat akhir-akhir ini, sudah banyak sekali lulusan muda berbakat yang sukses melakukan kegiatan usaha.
-    Mengadakan bimbingan, penyuluhan dan keterampilan tenaga kerja, menambah keterampilan, dan meningkatkan pendidikan.
-    Segera memindahkan kelebihan tenaga kerja dari tempat dan sektor yang kelebihan ke tempat atau sektor ekonomi yang kekurangan.

3.    Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah:

-    Pemerintah memberikan bantuan wawasan, pengetahuan dan kemampuan jiwa kewirausahaan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berupa bimbingan teknis dan manajemen memberikan bantuan modal lunak jangka panjang, perluasan pasar. Serta pemberian fasilitas khusus agar dapat tumbuh secara mandiri dan handal untuk bersaing di bidangnya. Mendorong terbentuknya kelompok usaha bersama dan lingkungan usaha yang menunjang dan mendorong terwujudnya pengusaha kecil dan menengah yang mampu mengembangkan usaha, menguasai teknologi dan informasi pasar dan peningkatan pola kemitraan UKM dengan BUMN, BUMD, BUMS dan pihak lainnya.
-    Segera melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia.
-    Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Seperti PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan terdata dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci.
-    Segera menyederhanakan perizinan dan peningkatan keamanan karena terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri. Hal itu perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan iklim investasi yang kondusif untuk menciptakan lapangan kerja.
-    Mengembangkan sektor pariwisata dan kebudayaan Indonesia (khususnya daerah-daerah yang belum tergali potensinya) dengan melakukan promosi-promosi keberbagai negara untuk menarik para wisatawan asing, mengundang para investor untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan yang nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja daerah setempat.
-    Melakukan program sinergi antar BUMN atau BUMS yang memiliki keterkaitan usaha atau hasil produksi akan saling mengisi kebutuhan. Dengan sinergi tersebut maka kegiatan proses produksi akan menjadi lebih efisien dan murah karena pengadaan bahan baku bisa dilakukan secara bersama-sama. Contoh, PT Krakatau Steel dapat bersinergi dengan PT. PAL Indonesia untuk memasok kebutuhan bahan baku berupa pelat baja.
-    Dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk (meminimalisirkan menikah pada usia dini) yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru atau melancarkan sistem transmigrasi dengan mengalokasikan penduduk padat ke daerah yang jarang penduduk dengan difasilitasi sektor pertanian, perkebunan atau peternakan oleh pemerintah.
-    Menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi secara ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil. Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
-    Segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan yang berorientasi kompetensi. Karena sebagian besar para penganggur adalah para lulusan perguruan tinggi yang tidak siap menghadapi dunia kerja.
-    Segera mengembangkan potensi kelautan dan pertanian. Karena Indonesia mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim dan agraris. Potensi kelautan dan pertanian Indonesia perlu dikelola secara baik dan profesional supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif.


BAB III
KESIMPULAN


BPS, serta perencanaan kerja dari Bappenas dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dapat mendukung perencanaan pembangunan secara nasional. Perencanaan pembangunan yang baik akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan suatu negara atau suatu daerah.

Kegiatan ekonomi informal adalah mudah masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini, bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. Pekerja formal memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan yang dapat menempatkan mereka pada posisi lebih baik untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Secara statistik aktivitas pada ekonomi informal lebih sulit untuk di hitung karena mudahnya setiap orang untuk keluar masuk ke dalam kegiatan tersebut. Berbeda dengan aktivitas pada ekonomi formal yang lebih banyak persyaratan untuk dapat masuk ke dalam aktivitas tersebut.

Setengah menganggur (underemployed), yaitu mereka yang bekerja tetapi belum dimafaatkan secara penuh. Artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari 35 jam. Berdasarkan definisi ini tingkat pengangguran di Indonesia relative tinggi, karena angkanya berkisar 35% per tahun. Pengangguran terselubung adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Rendahnya tingat pengangguran di Indonesia bukan disebabkan oleh adanya jaringan keselamatan yang diberikan oleh pemerintah untuk warganya yang menganggur, tetapi hal ini disebabkan karena banyaknya masyarakat yang lebih memilih untuk bekerja apa saja diluar latar belakang pendidikan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena sampai dengan saat ini pemerintah Indonesia belum mempunyai sistem jaringan keselamatan untuk para penganggur.

Para pekerja tanpa kontrak dan pekerja bisnis keluarga tanpa bayaran memang cukup banyak di Indonesia, mereka yang rela untuk menerima pekerjaan ini dikarenakan kebutuhan ekonomi yang sudah sangat mendesak. Mereka biasanya orang-orang yang kurang memiliki keahlian khusus dan kurang berpendidikan. Mereka tinggal bersama keluarga yang dapat memberi kebutuhan sandang, pangan dan papan dengan konsekuensi harus bekerja tanpa di bayar.
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Murabahah Center | FSH-UIN | UIN Jakarta
Copyright © 2011. EKONOMI ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Yans Doank
Proudly powered by Blogger