Master Ekonomi Syariah Mengucapkan Minal 'Aidin wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Batin Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H.

MAQASHID SYARIAH DALAM KEPEMILIKAN HARTA


Oleh : Febrianti

I.    Pendahuluan
Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya.  Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia.

Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai penghalang antara dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.

Harta yang dimiliki setiap individu selain didapatkan  dan digunakan juga harus dijaga. Menjaga harta berhubungan dengan menjaga jiwa, karena harta akan menjaga jiwa agar jauh dari bencana dan mengupayakan kesempurnaan kehormatan jiwa tersebut. Menjaga jiwa menuntut adanya perlindungan dari segala bentuk penganiayaan, baik pembunuhan, pemotongan anggota badan atau tindak melukai fisik.

Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah  telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasi harta tersebut melalui izin-Nya  sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Adanya pemilikan seseorang atas  harta kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta.

Menurut Fazlur Rahman semua orang memiliki hak yang sama untuk berusaha mendapatkan rezeki berupa harta.  Siapa saja yang tinggal dalam suatu wilayah berhak atas tiga hal, yaitu air, rumput dan api.

Namun sebaliknya kondisi saat ini khususnya di Indonesia ada batas- batas kepemilikan harta yang sebenarnya dapat dimiliki untuk umum. Bahkan banyak intervensi Negara asing yang ingin menguasai kepemilikan umum menjadi milik pribadi.

Berangkat dari permasalahan diatas, maka tulisan singkat ini akan menguraikan  makna harta dalam pandangan Islam dan konsep kepemilikan harta dalam Islam ditinjau dari sisi maqashid syariah.

II.    Pembahasan
A.    Pengertian Harta
Harta dalam literatur Islam (Al-Qur’an dan al-Hadits) dikenal dengan sebutan al-mal, kata jamaknya al-amwal. Dalam al-Qur’an tersebut 24kali kata mal atau al-mal, satu kali kata maliyah dan 61 kata amwal dalam puluhan surat dan puluhan ayat.
Secara harfiah, kata al-mal berasal dari kata mala-yamilu-maylan-wa-mayalanan-wa-maylulatan-wa-mamilan,artinya miring, condong, cenderung, suka, senang dan simpati. Harta dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa, kapan dan dimanapun pada dasarnya adalah condong, senang, mau dan cinta pada harta khususnya uang.  Al-Qur’an melukiskan kegemaran manusia terhadap harta di antaranya :

“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
   
Menurut istilah syar’i  harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian. Maka seluruh apapun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta. Uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikanan-kelautan dan pakaian termasuk dalam kategori al-amwal atau harta kekayaan.

        Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis, karena harta merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu.

        Hubungan manusia dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya hubungan tersebut sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan hidup manusia itu sendiri. Justru harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan manusia, karena harta termasuk unsur lima asas yang wajib dilindungi bagi setiap manusia (al-dharuriyyat al-khomsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.

B.    Kepemilikan Harta Dalam Islam
Kepemilikan adalah hubungan keterikatan antara seseorang dengan harta yang dikukuhkan dan dilegitimasi keabsahannya oleh syara’. Kata al-Milku digunakan untuk menunjukkan arti sesuatu yang dimiliki, seperti perkataan “Hadza milkii,” yang artinya ini adalah sesuatu milikku baik berupa barang atau kemanfaatan.

Menurut Jati dalam buku Asas-asas ekonomi Islam, hakikat harta ada tiga, yaitu : Allah adalah pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah fasilitas bagi kehidupan manusia dan Allah menganugerahkan pemilikan harta kepada manusia.

Menurut Ibnu Taimiyah seperti dikutip Euis Amalia dalam buku Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,  tiap individu, masyarakat dan Negara memiliki hak atas pemilikan hak milik sesuai dengan peran yang dimiliki mereka masing-masing. Hak milik dari ketiga agen kehidupan ini tidak boleh menjadikannya sebagai sumber konflik antara ketiganya. Hak milik menurutnya adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariah untuk menggunakan sebuah objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan jenisnya.
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.  
1)      Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun  manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk  memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi – jika barangnya diambil  kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk  dihabiskan zatnya seperti dibeli – dari barang tersebut.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehensif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini : 
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup.
(4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
  (5)Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya dan melindunginya dari pemubaziran.  Namun pemilik juga terkena sejumlah kewajiban tertentu, seperti membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta membayar sejumlah kewajiban.

2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori  kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan  Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka  masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum  Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil  orang.
Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan      umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
              a. Benda-benda yang merupakan fasilitas umum
Bentuk fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda :

“Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah). 

Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
b. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
    c. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara perorangan.
Benda yang dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum yaitu jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda ini dari merupakan fasilitas umum dan hampir sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, tetapi berbeda dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu.
Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.

3). Kepemilikan Negara (state property)
Harta-harta yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat  memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah swt. Sedangkan manusia adalah para hambanya dan kehidupan di dalamnya manusia bekerja, berkarya dan membangunnya dengan menggunakan harta Allah swt. karena semua itu adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya harta kekayaan meskipun terikat dengan nama orang tertentu dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Allah swt berfirman,
“ Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” .
Dengan begitu, berarti harta kekayaan memiliki fungsi sosial yang tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta kemaslahatan-kemaslahatannya. Jadi dengan begitu, kepemilikan individu di dalam pandangan Islam merupakan sebuah fungsi sosial.
Syaikh Abu Zahrah berpandangan,  bahwa tidak ada halangan untuk mengatakan bahwa kepemilikan adalah fungsi sosial. Akan tetapi harus diketahui  bahwa itu harus berdasarkan ketentuan Allah swt bukan ketentuan para hakim, karena mereka tidaklah selalu orang-orang yang adil.

C.     Maqashid Syariah dalam Kepemilikan Harta
Memelihara harta atau kepemilikan harta secara individu, umum dan kepemilikan Negara merupakan salah satu dari lima unsur kemaslahatan dalam maqashid syariah (tujuan syariah).
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

1.    Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
2.    Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
3.    Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruhi kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merup akan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.

Menurut penulis, cara melindungi harta sesuai dengan kepemilikannya adalah sebagai berikut :
Hak milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat Islam yaitu dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba. Menggunakannya pun harus sesuai dengan syariat Islam, tidak digunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh agama dan tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat mubazir atau pemborosan. Selain itu, harus mengeluarkan zakat dan infaq guna membersihkan harta sesuai dengan harta yang dimiliki.

Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda-benda ini secara umum (air, rumput dan api) yang merupakan sumber daya alam manusia yang tidak dapat dimiliki perorangan kecuali dalam keadaan tertentu, maka cara menjaganya harus dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena. Misalnya, air sungai dijaga kejernihanya dengan cara tidak membuang sampah atau limbah ke sungai. Hutan dijaga kelestarian tumbuhannya, tidak boleh ada penebangan liar.

Hak milik Negara, pada dasarnya kekayaan Negara merupakan kekayaan umum, namun pemerintah diamanahkan untuk mengelolanya dengan baik. Dengan begitu suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara menjaga dan mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara jangan sampai diambil alih oleh Negara lain dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi (korupsi). Dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum juga, seperti penyelenggaraan pendidikan, regenerasi moral, membangun sarana dan prasarana umum, dan menyejahterakan masyarakat.

Dengan demikian, walaupun memelihara harta merupakan urutan terakhir dalam lima unsur kemaslahatan, namun menurut penulis harta merupakan tonggak utama dalam memelihara kelima tujuan syariah. Dengan memiliki harta yang cukup akan terpenuhi semua lima maslahat ( agama, jiwa,akal, keturunan dan harta).

Penutup
Kesimpulan
1.    Harta dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa, kapan dan dimanapun pada dasarnya adalah condong, senang, mau dan cinta pada harta khususnya uang. Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian.
2.    Kepemilikan harta dalam Islam dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara.
3.    Maqashid syariah dalam kepemilikan harta adalah sebagai berikut :
Hak milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat Islam yaitu dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba. Menggunakannya pun harus sesuai dengan syariat Islam, tidak digunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh agama dan tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat mubazir atau pemborosan. Selain itu, harus mengeluarkan zakat dan infaq guna membersihkan harta sesuai dengan harta yang dimiliki.
Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda-benda ini secara umum (air, rumput dan api) yang merupakan sumber daya alam manusia yang tidak dapat dimiliki perorangan kecuali dalam keadaan tertentu, maka cara menjaganya harus dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena. Misalnya, air sungai dijaga kejernihanya dengan cara tidak membuang sampah atau limbah ke sungai. Hutan dijaga kelestarian tumbuhannya, tidak boleh ada penebangan liar.
Hak milik Negara, pada dasarnya kekayaan Negara merupakan kekayaan umum, namun pemerintah diamanahkan untuk mengelolanya dengan baik. Dengan begitu suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara menjaga dan mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara jangan sampai diambil alih oleh Negara lain dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi (korupsi). Dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum juga, seperti penyelenggaraan pendidikan, regenerasi moral, membangun sarana dan prasarana umum, dan menyejahterakan masyarakat.

Saran
Saran dan masukan melalui diskusi mengenai makalah ini sangat membantu penulis untuk melengkapi kekurangan-kekurangan dalam materi ini, karena penulis akui dalam penulisan makalah ini adanya keterbatasan literatur yang ditemui.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim

Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok : Gramata Publishing, 2010).

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).

Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta,Gema Insani Press. Keputusan Muktamar Tarjih  XXII,1990, Malang

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah, (Jakarta : Amzah,2010), Cetakan kedua.

Nabhani, Taqyudin, Membangun sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, (Surabaya:Risalah gusti.2002). 

Rahman,  Fazlur, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000).
Suma, Muhammad Amin, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, (Jakarta : Kholam Publishing, 2008).

Sholahuddin, Muhammad, Asas-asas Ekonomi Islam,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007).

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu, Terjemahan Jilid 6, (Jakarta : Gema Insani, 2011).

http://saefulbafri009.blogspot.com/2012/10/pengertian-harta-dalam-islam.html diakses pada tanggal 18 April 2013 pkl. 11.00 wib.
 
 
Support : Murabahah Center | FSH-UIN | UIN Jakarta
Copyright © 2011. EKONOMI ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Yans Doank
Proudly powered by Blogger